Mengolah Emosi, Mendidik Karakter

Photo: Youth Summer Experience (YSE) sebagai ajang mengolah emosi dan mendidik karakter generasi muda.
Photo: Youth Summer Experience (YSE) sebagai ajang mengolah emosi dan mendidik karakter generasi muda.

Oleh: Thio Hok Lay, S. Si, CBPA
Guru di Sekolah Citra Kasih, Jakarta

NITENI - Penelitian atas perkembangan teknologi digital di kalangan anak muda mengungkap bahwa problematika yang acap dijumpai bukanlah perihal penguasaan dan keterampilan di bidang teknologi, melainkan justru terkait erat dengan perubahan kebudayaan, khususnya bagaimana kawula muda selaku warganet mengungkap dan mengunggah emosi di dunia digital.

Temuan tersebut hendak menegaskan bahwa teknologi modern itu lebih mudah dan lebih cepat dikuasai oleh generasi muda daripada penguasaan atas budaya modern. Dengan kelimpahan energi lengkap dengan daya produktivitas dan kreativitas yang dimiliki menempatkan generasi muda sebagai berkah (bonus) demografi.

Ironisnya, potensi generasi muda atas penguasaan ilmu, pengetahuan, dan teknologi modern tidak otomatis dibarengi dengan tumbuhkembang dan kematangan emosi. Schwartz (2005) menyatakan bahwa ekspresi emosi lebih dari hanya sekedar pernyataan perasaan, namun juga melibatkan proses badani dan perbuatan (tingkah laku).

Terkonfirmasi melalui maraknya ragam fenomena aksi perundungan, kabar bohong (hoax) dan ujaran kebencian (hate speech) yang bertaburan di ruang digital akibat ulah kawula muda. Menjadi indikator konkret bahwa kemampuan dan keterampilan generasi muda dalam mengolah emosi masih perlu dibenahi.

Kegelisahan serupa, diungkapkan oleh alm. Wimar Witoelar (2014) dalam bukunya ‘Sweet Nothing’ bahwa tragedi di Indonesia adalah problem rakyat biasa yang makin lama makin parah, sedangkan kelas menengah dan kelas atas makin tidak peka. Gejala ini pun senyatanya merupakan persoalan seputar pengelolaan dalam mengeskpresikan emosi.

Kerja budaya

 Menurut Ki Hadjar Dewantara, pendidikan itu usaha kebudayaan, berazas keadaban, yakni memajukan hidup agar mempertinggi derajat kemanusiaan. Intisari pendidikan (education; educare) adalah upaya menuntun untuk melangkah guna melakukan perubahan ke arah yang lebih baik.

Di sinilah peran esensial dari pendidikan sebagai kerja budaya, yakni mengawal proses transformasi emosi dan karakter guna proses tumbuhkembang diri menjadi santun dan beradab. Untuk itu, sekolah sebagai institusi pendidikan perlu merancang program dan skenario pola pembinaan siswa yang mencerahkan (enlightment), memperkaya (enrichment), dan memberdayakan (empowerment).

Sebagai pengajar dan pendidik (guru), penulis belajar mengolah emosi melalui sosok alm. Dr. (HC) Ir. Ciputra (Tjie Tjien Hoan). Dikisahkan dalam buku ‘Ciputra; The Entrepreneur – The Passion of My Life’ bahwa di tengah keprihatinan kehidupan, Ciputra tetap bersemangat, punya harapan dan impian.

Emosi mempunyai bahasa dan kecerdasannya sendiri yang tidak dimiliki oleh akal. Berikut ini merupakan program Sekolah Citra Kasih, Sekolah Citra Berkat, Sekolah Ciputra Kasih yang dipandang mampu menumbuhkembangkan energi emosi dan karakter positif dalam diri anak-anak murid, yaitu:

Pertama, program positive pals; wadah bagi anak-anak murid untuk belajar berbagi kisah dan pengalaman, menjadi ajang belajar untuk mengungkapkan suasana emosi batinnya secara jujur dan terbuka. Saat seorang anak murid berbagi kisah dan pengalaman, para sahabat dan guru pendamping menyimaknya dengan penuh empati untuk kemudian saling memberikan penguatan.

Kedua, program Youth Summer Experience (YSE); program pendampingan belajar bagi para murid yang diselenggarakan saat liburan sekolah. Selama beberapa hari, dengan pendampingan guru, anak-anak murid belajar ke luar kota atau ke luar negeri sebagai target sasaran belajar yang telah ditentukan.

Dimulai sejak proses persiapan hingga pelaksanaan kegiatan YSE, peserta kegiatan menjumpai aneka problematika dan tantangan kehidupan secara konkret, antara lain seperti: Keterbatasan sarana dan fasilitas dalam belajar, dinamika problematika sosial – budaya – ekonomi – lingkungan ketika berinteraksi dengan masyarakat lokal.

Di sinilah ajang dan wadah latihan sesungguhnya dalam belajar mengelola emosi dan mendidik karakter. Apakah melalui aneka kendala dan keterbasan yang dijumpai dan dialami, anak murid masih mampu menyikapinya dengan senyuman atau justru dengan keluhan.

Bagi mereka yang mampu mengolah emosi dan mendidik karakter, keberhasilan sekecil apapun tak akan lupa untuk disyukuri, sedangkan kegagalan yang dialami terolah menjadi bahan evaluasi bagi perbaikan di masa mendatang. Ringkasnya, setiap peristiwa yang dijumpai dan dialami mampu direfleksikan dan dimaknai sebagai rangkaian siklus yang mentransformasikan energi secara positif.

Berharap kawula muda sebagai generasi emas bangsa mampu menghadirkan dan menghadiahkan dirinya secara utuh dan seimbang, santun dan beradab di ruang-ruang publik. Dengan demikian, menjadi paralel dengan spirit pendidikan unggul yang menyatakan bahwa sejatinya mereka memang dilahirkan untuk hal-hal besar dan luhur (ad maiora natus sum).***

Baca Juga